Radikalisme (dari bahasa Latin radix yang berarti akar) adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Dalam Wikipedia disebutkan: “Menurut Encyclopedia Britannica, kata “radikal” dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox. Pada tahun 1797, ia mendeklarasikan “reformasi radikal” system pemilihan, sehingga istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi pergerakan yang mendukung reformasi parlemen. Dalam sejarah, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi system pemilihan secara radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Begitu “radikalisme” historis mulai terserap dalam perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif” (https://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme).
Mengapa radikalisme jadi masalah bagi bangsa Indonesia? Radikalisme dapat mengacu kepada beberapa hal berikut: Ekstremisme, dalam politik berarti tergolong kepada kelompok-kelompok radikal kiri, ekstrem kiri atau ekstrem kanan. Radikalisasi, transformasi dari sikap pasif atau aktivisme kepada sikap yang lebih radikal, revolusioner, ekstrem, atau militan. Sementara istilah “Radikal” biasanya dihubungkan dengan gerakan-gerakan ekstrem kiri.
Di Indonesia radikalisme dipahami lebih sebagai suatu paham yang berlindung dibalik nama agama, mengutamakan pemaksaan kehendak dengan cara-cara kekerasan untuk sebuah perubahan atau pembaharuan social dan politik secara drastis. Padahal dari berbagai literatur tak satu pun penjelasan yang membenarkan bahwa radikalisme tertuju pada suatu ajaran agama tertentu. Sebaliknya, dari sudut pandang keagamaan radikalisme dipandang sebagai paham keagamaan yang berakar pada fondasi agama yang paling mendasar, dan paling mendalam. “Dapat dikatakan bahwa inti dari radikalisme adalah menjalankan ajaran agama secara benar dan konsekwen sambil menghargai perbedaan, bukan pemaksaan dan kekerasan kepada pihak lain. ”Hal ini menegaskan bahwa orang yang menggunakan nama agama untuk sebuah tindakan kekerasan adalah salah, tidak benar karena semua agama tidak mengajarkan kekerasan dalam bentuk apapun. Pemahaman radikalisme salah kaprah akibatnya melahirkan pandangan ‘miring’ terhadap mereka yang sejatinya punya tujuan mulia. Contoh : Mayoritas warga Indonesia menolak terhadap beberapa orang warga Indonesia yang secara pribadi ikut terlibat dalam konflik di negara lain. “Mengapa?” Ada pengalaman pahit ketika para “partisipan” kembali dari medan perang Afgansitan dan Moro di Pilipina Selatan hanya menghasilkan sejumlah teroris kelas wahid yang mengedepankan Boom Bunuh Diri ketimbang dialog cerdas sebagai solusi mengatasi masalah bangsa.
Rentetan peristiwa kekerasan demi kekerasan dari kaum radikal akhirnya menelurkan beberapa pertanyaan refleksi. “Mengapa masih banyak orang Indonesia mau berjuang dengan cara-cara kekerasan? Mengapa orang Indonesia mau berperang sementara warga negara yang sedang berperang mengungsi? Apakah ada motif tersembunyi bagi orang Indonesia? Apakah ketika mereka kembali ke Indonesia tidak melakukan tindakan radikal? Bagaimana cara mereka membersihkan tangan yang sudah terbiasa berlumuran darah?”.
Sekilas radikalisme di Indonesia, menurut Rafik Maeilana, Senin, 01/08/2016, Wahid Institute (WI) mencatat, sedikitnya setengah juta orang pernah terlibat dalam aksi radikalisme di Indonesia. Hal itu berdasarkan hasil survey nasional yang dilakukan, bekerjasama dengan Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2016. Direktur WI, Yenny Zannuba Wahid, pada waktu meluncurkan Laporan Hasil Survey Nasional “Potensi Radikalisasi & Intoleransi Sosial–Keagamaan di Kalangan Muslim di Indonesia. ”Data hasil survey cukup mengejutkan, ada kabar buruk tapi ada kabar baik. Kabar buruknya sekitar 0,4 persen dari masyarakat Indonesia pernah melakukan radikalisme. Selanjutnya ada potensi sebesar 11 jutawarga Indonesia yang siap melakukan kegiatan radikalisme. Namun, kabar baiknya dari survey initerdapat, 72 persen masyarakat Indonesia masih menganggap jika demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling baik, dan 82 persen masyarakat Indonesia menyatakan Pancasila dan UUD 45 adalah dasar negara terbaik untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mencermati hasil survey Wahid Institute mengingatkan dan membenarkan bahwa konflik SARA merupakan bahaya laten bangsa Indonesia. Artinya, potensi konflik akar rumput masih tetap ada, dan masih ada banyak orang di negeri ini yang memanfaatkan perbedaan untuk kepentingan sesaat. Padahal sebagai bangsa pernah melewati masa-masa pahit, menyaksikan banyak nyawa yang tak berdosa, dan banyak keluarga meratapi kesedihan karena sanak saudaranya sebagai korban bom bunuh diri, dan korban kerusuhan. Mungkin saja sebuah catatan menarik yang patut dicermati, dipahami serta yang selalu harus diingat oleh semua warga bangsa bahwa yang namanya tindakan radikalis dimana pun dan apapun alasan dan tujuan ternyata para korban terbanyak adalah perempuan dan anak-anak, orang-orang yang tak berdosa, mereka yang tak punya kepentingan baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan apa yang disengketakan tersebut.
Radikalisme pada ujungnya selalu berakhir dengan kekerasan yang bermuara pada korban jiwa, dan harta benda dari banyak orang yang tak berdosa. Dalam pandangan sosiologi secara singkat dikatakan bahwa kekerasan dapat timbul karena kondisi-kondisidan proses-proses yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku social lainnya. Menurut SoerjonoS oekanto (1982), analisis terhadap kondisi-kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu bahwa terdapat hubungan antara variasi angka kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi social tempat kejahatan tersebut terjadi. Tinggi – rendahnya angka kejahatan mempunyai hubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi sosial; artinya, kuantitas kejahatan di dalam masyarakat mempunyai hubungan erat dengan kondisi-kondisi dan pertentangan kebudayaan, yang terdiri atas proses beberapa aspek kehidupan manusia di dalam masyarakat, diantaranya: mobilisasi sosial, persaingan dan pertentangan kebudayaan, ideologi politik, ekonomi, kuantitas penduduk, agama, pendapatan dan pekerjaan. Akhirnya, hukum tegas tangkal kekerasan satukan perbedaan, karena tak ada satu pun agama mengajarkan dan membenarkan aktualisasi pemahaman keagamaan dengan cara-cara memaksakan kehendak dengan kekerasan terhadap kelompok dan golongan lain. Benar ajakan humanis Yeni Wahid selaku Koordinator Wahid Foundation bahwa pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku aksi kekerasan yang mengatas namakan agama, ‘mereka yang mengadu domba perbedaan,’ serta para penyebar kebencian di muka umum. Korps Bayangkara bersama Pemerintah Daerah merupakan ujung tombak negara untuk memastikan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negara. Mari tumbuhkan semangat peduli terhadap sesama, meninggalkan sikap acuh dan individualis, serta hindari ajakan dan ajaran agama yang sembunyi-sembunyi, bujuk rayu pemberian hadiah, dan teristimewa semua orang berani mengatakan “Radikalisme Apa Untungnya.”