Secara kasat mata, reaksi Rocky Oroh CS adalah bentuk penolakan terhadap keputusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menzolimi kaum minoritas (Ahok) di negara pancasila ini. Para Hakim diduga takut terhadap para pendemo (Ormas Islam) dan Negara dalam hal ini Presiden Jokowi dianggap gagal melindungi kaum minoritas ketika dizolimi. Tetapi,menurut data intelijen aksi demo sudah tidak murni karena ada muatan mau mengupayakan referendum Minahasa merdeka.
Bedasarkan data intelijen maka Polda Sulut menciduk dan menahan Rocky Oroh berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp.Kap/17/VI/2017/Dit Reskrimum, yang ditanda-tangani Wadir Reskrimum Polda Sulut AKBP Djoko Wineartono, Jumat (2/6/2017), atas tuduhan telah melakukan tindakan pidana Permufakatan Jahat dan Makar sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 110 KUHP dan 106 KUHP, yaitu upaya mendeklarasikan referendum Minahasa. Dari hasil penangkapan yang dipimpin Kanit Tindak Jatanras Manguni Polda Sulawesi Utara, AKP A Agun Sitepu, bersama delapan personil Tim Resmob Manguni Polda Sulawesi Utara dan anggota Den Intel Kodam XIII/Merdeka. Polisi berhasil menyita barang bukti berupa satu unit laptop, satu buah handphone, satu buah megafon, satu buah bendera Minahasa, dua buah baliho,satu buah modem.
Tindakan Polda Sulut dengan menangkap dan menahan Rocky Oroh mengacu pada fungsi dan kewenangan Polisi sesuai amanat UU N0 2 tahun 2002 Pasal 13,14 dan 15, melahirkan polemik di tengah masyarakat Sulut dengan rupa-rupa reaksi: (1) menggugah nalar kritis demokrasi dan berdemonstrasi, (2) keabsahan Polda Sulut berkenaan menggunakan KUHP Pasal 106 dan 110 tentang makar, (3) hakekat normatif reformasi dengan kebebasan berekspresi, (4) solusi produktif edukatif demi rasa keadilan hukum.
Pertama,menggugah nalar kritis demokrasi dan berdemokrasi. Demokrasi secara universal dipahami sebagai seni berpolitik,seni berargumentasi,seni berdebat,seni mencari dan menemukan sebuah kebenaran baru yang peruntukannya diakui dan diterima oleh semua masyarakat bangsa universal. Artinya, sejatinya melalui demokrasi semua orang berproses menjadi lebih manusiawi, beradab, berakhlak, berbudaya sesuai karakter dan jati diri bangsa. Bagi bangsa Indonesia,demokrasi dapat dimaknai sebagai media bagi semua orang “mendapat inisiasi baru” yakni menjadi manusia baru,menjadi warga negara baru karena mampu menyeimbangakan hak dan kewajibannya sebagai bentuk implementasi demokrasi Pancasila. Maka,demonstrasi bukan hanya sekedar menyatakan “saya berbeda dengan anda” tetapi jauh lebih penting adalah sebagai sarana ‘pengikat pluralism’ dan ‘saluran aspirasi’ yang paling efektif dan berdaya guna bagi kemakmuran bangsa.
Idealnya,ruang demokrasi dengan pilar utama adalah demonstrasi dalam pemahaman dan fakta sesungguhnya mengingatkan semua orang untuk memilah-milah semua aspirasi yang mau disampaikan dari pelbagai sisi pandang,seperti: efektivitas pengerahan masa, kelayakan dan kepantasan tuntutan dan cara menyampaikan dengan tidak menghujat,menghasut, menyebarkan berita bohong,provokatif serta isu-isu daerahisme. “Mengapa demikian?” Pertama,Indonesia sudah selesai dan NKRI harga mati. Kedua,kita harus patuh terhadap hukum dan menerima semua konsekwensi hukum. Ketiga,tidak semua yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan sebagai benar dengan seenaknya diekpresikan di depan umum,apalagi berani menabrak hukum. Keempat,sepertinya,mengerahkan masa untuk demo dan berteriak di tengah jalan,sudah bukan jamannya karena tidak akan mengubah apapun. Mungkin dipikirkan untuk gunakan semua saluran yang sudah disediakan negara untuk mengekspresikan pikiran-pikiran positif saja guna kemajuan bangsa.
Kedua,keabsahaan Polda Sulut menggunakan KUHP Pasal 106 dan 110 tentang makar. Ada dualisme pola pikir masyarakat menyikapi Kinerja Polisi dalam Penegakkan Hukum. Masyarakat sudah terbiasa berpikir negative terhadap kinerja Polisi dalam penegakkan Hukum. Apapun yang dilakukan Polisi dalam penegakkan hukum selalu salah. “Mengapa?” Karena masyarakat memiliki rumusan kebenaran menurut pikirannya sendiri,bukan mengacu pada Hukum yang berlaku. Contoh: masyarakat protes ketika Polisi melakukan penindakan terhadap seorang anggota keluarga atau warga masyarakat yang diduga melakukan kejahatan. Masyarakat juga marah terhadap Polisi ketika belum menindak seseorang yang menurut masyarakat sudah terang benderang melawan hukum. Masyarakat tidak mau mengerti bahwa penegakkan hukum adalah tugas dan kewenangan Polisi yang diamanatkan UU N0 2 tahun 2002 Pasal 13,Pasal 14,pasal 15 akan menindak semua orang dalam melakukan aktivitasnya dengan mengabaikan semua rambu-rambu hukum,norma-norma sosial masyarakat. Olehnya, kasus Rocky Oroh tidak perlu terjadi seandainya mereka mampu kendalikan semangat. “Mengapa?”Realitas sosial masyarakat Sulut adalah salah satu daerah yang diakui sangat aman dan sangat bersahabat di Indonesia.
Ketiga,hakekat reformasi dengan kebebasan berekspresi. Reformasi kebablasan adalah ungkapan rasa kesal menghadapi semua kasus hukum dan setiap keputusan para Juru Palu (Hakim) selama ini. Namun ‘karut marut’ dari semua masalah hukum mengandung pesan dan ajakan serta mengingatkan semua warga bangsa ini agar mau mengakui bahwa kita masih hidup dengan kepalsuan dan topeng, belum sungguh-sungguh menyatu dari sisi rasa,pikiran dan hati sebagai saudara sebangsa,setanah air. Contoh: praktek polarisasi politik berdasarkan SARA yang masih barakar secara masif,terstuktur di tengah masyarakat. Inilah tugas dan tantangan bersama menemukan format baru guna menyatukan semua rasa sebagai bangsa. Terutama Negara (Pemerintah) harus berani melarang semua bentuk demo dengan menggunakan panji agama guna menakar potensi intoleransi dan disintergrasi bangsa. Sejatinya kita semua sudah sangat lelah menghabiskan energy dengan hal-hal sepele (tidak produktif).
Keempat,solusi produktif edukatif demi rasa keadilan hukum. Fakta, pembangunan Sulut di segala sektor berkembang sangat jauh berbeda dibanding dengan di erah perjuangan Parmesta. Oleh karena itu,adalah sangat tepat patut didalami motif dari Rocky Oroh CS mengusahakan referendum Minahasa merdeka. Jika motif adalah menyuarakan rasa tidak puas terhadap Presiden Jokowi oleh karena keputusan para Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara,berarti salah alamat dan pasti sangat keliru. “Mengapa?” Jelas, Presiden Jokowi sudah berkali-kali mengatakan tidak akan mengintervensi Hukum dan harus meletakan hukum di atas segala-galanya (Hukum sebagai Panglima). Artinya semua orang wajib hukumnya menghargai hukum dan semua produk hukum serta semua orang sama di depan hukum. Kalau merasa tidak puas dengan keputusan Hakim gunakan saluran hukum yang berlaku di negeri ini.
Aksi demonstrasi dengan mengerahkan banyak orang dari berbagai sudut pandang lebih banyak berakhibat negative,seperti: sangat menghambat ruang gerak masyarakat,pemborosan bahan bakar, menguras tenaga serta biaya yang tidak sedikit untuk pengamanan. Padahal saat ini kita sangat butuh banyak uang untuk biayai pembangunan infrastruktur dari seluruh penjuru negeri ini. Belajar dari semua persitiwa sekarang,maka ke depan Polisi harus benar-benar selektif memberi izin demonstrasi. Terlebih Pemerintah dan DPR segera membuat aturan larangan aksi demo menggunakan atribut agama, menggunakan rumah–rumah ibadah,serta menggunakan corong rumah ibadah. Adalah terlalu bodoh kalau Negara kecolongan lagi dan lagi kecolongan atau Negara dengan sengaja membiarkan politisisasi agama dan rumah ibadah untuk kepentingan sesat dari sekelompok orang.
Tindakan Polda Sulut menangkap dan menahan Rocky Oroh, murni masalah hukum adalah benar dan sangat tepat dalam menjalankan fungsi dan kewenangan sesuai amanat UU N0 2 tahun 2002 dan KUHP Pasal 106 dan Pasal 110. Adalah patut disalahkan seandainya Polda Sulut dan TNI hanya diam saja padahal sudah ketahui ada orang atau sekelompok orang yang berusaha menghimpun masa untuk tujuan yang bertentangan dengan hukum. Apalagi ketika mencermati rekam jejak Rocky Oroh adalah seorang aktifis dengan segudang pengalaman,pasti sangat paham dengan semua rambu-rambu hukum di negeri ini. Idealnya,orang-orang hebat sekelas Rocky Oroh akan lebih cerdas menyampaikan ide dan gagasan sehingga tidak melanggar hukum (harus jadi contoh dan teladan). Jelas, tidak mengupayakan referendum Minahasa merdeka. Nah,bagi semua pendukung Rocky Oroh dan partisipan yang merasa tidak puas dengan tindakan Polda Sulut disilahkan menggunakan jalur hukum yang tersedia,di antaranya: melakukan class action terhadap KUHP Pasal 106 dan pasal 110 ke Mahkamah Konstitusi.
Mengingat de fakto dan de jure kasus Ahok sudah final maka mungkin saja jadi bahan pertimbangan agar semua kasus pasca keputusan Hakim dan pasca Ahok menerima keputusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara,dianggap selesai demi rasa keadilan hukum. Dan ke depan peran dan kewenangan Polisi sesuai amanat (UU N0 2 tahun 2002) sebaiknya lebih mengedepankan proses edukasi dalam penegakkan hukum. Terutama Pemerintah dan DPR RI sudah saatnya mendalami kembali asas kemanfaatan/urgensi KUHP pasal 106 dan pasal 110 tentang makar. Camkanlah, bahwa keberhasilan supremasi hukum dan keberhasilan fungsi serta peran edukasi Polisi terhadap masyarakat dapat diukur dari semakin kurang jumlah para penghuni ‘terali besi’(napi) dan semua penjara berubah fungsi menjadi hotel-hotel bintang lima. Jika tidak demikian, maka Demokrasi dan Supermasi Hukum tidak ada bedanya dengan Fandalisme. Di mana semua orang yang memiliki kekuasaan dan punya pengaruh saling unjuk kekuatan dengan tujuan untuk menekan atau merusak semua tata nilai,peradaban serta aturan hukum yang berlaku dalam sebuah bangsa.
Realitas,praktek demokrasi kebablasan bukan hanya sekedar fenomena/rumor. Justru telah menjadi virus mematikan dan menghancurkan sendi-sendi kesakralan demokrasi. Faktor pemicu adalah mereka yang merasa dirinya “sangat pintar” telah terkontaminasi dengan banyak kepentingan terselubung,yakni agama,kebencian, politik, dllnya. Olehnya, urgensi KUHP makar dalam era reformasi butuh kajian sosial dan hukum lebih mendalam sesuai tantangan zaman. Terutama agar bernegara tanpa saling menghujat, menuntut, mengancam,menyebar rasa takut,menyebar fitnah dan kebencian,dllnya. Mari, kita menjadi orang pintar dan cerdas dengan mau menempatkan diri sebagai orang terhormat di depan hukum. Niscaya, KUHP makar dengan sendirinya gugur demi hukum, dan semua penegak hukum pasti dirumahkan alias pensiun dini.