BKKBN memperkirakan pada tahun 2020 hingga 2030 Indonesia akan mengalami bonus demografi. Bonus demografi didefiniskan sebagai suatu fenomena di mana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sedang proporsi usia muda sudah semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak. Sehingga yang dibutuhkan oleh negara ini adalah pembangunan fisik dan pembangunan manusia. Pembangunan fisik lebih diutamakan membangun infrastruktur guna membebaskan masyarakat daerah terpencil dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Selanjutnya pembangunan manusia dilakukan melalui pendidikan dengan ketersediaan semua sarana prasarana kebutuhan pendidikan. Infrastruktur yang baik dan sumberdaya manusia yang punya daya saing akan berguna baik dalam membangun juga merekatkan kebinekaan bangsa dalam satu cita rasa dan karsa.
Presiden Jokowi bekenaan dengan peringatan hari lahir Pancasila pada hari Kamis 1 Juni 2017 di Gedung Pancasila menegaskan kembali komitmen kebangsaan. Berikut petikan pidato: “Kita juga harus waspada terhadap segala bentuk pemahaman dan gerakan yang tidak sejalan dengan Pancasila. Pemerintah pasti bertindak tegas terhadap organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan yang anti-Pancasila, anti-UUD 1945, anti-NKRI, anti-Bhinneka Tunggal Ika. Pemerintah pasti bertindak tegas jika masih terdapat paham dan gerakan komunisme yang jelas-jelas sudah dilarang di bumi Indonesia. Sekali lagi, jaga perdamaian, jaga persatuan, dan jaga persaudaraan di antara kita. Mari kita saling bersikap santun, saling menghormati, saling toleran, dan saling membantu untuk kepentingan bangsa. Mari kita saling bahu-membahu bergotong royong demi kemajuan Indonesia. Kita Indonesia. Kita Pancasila. Semua Anda Indonesia, semua Anda Pancasila. Saya Indonesia. Saya Pancasila.”
Cuplikan pidato Presiden Jokowi ini sangat sarat makna. Dalam konteks Indonesia kekinian,kami mencoba membahasakan secara harafiah pesan tersebut. Jelas, pidato Presiden Jokowi ini tidak punya niat retorika pencitraan.
Pertama, ajakan kembali ke jati diri dan martabat bangsa. Pidato Presiden Jokowi ini lebih sebuah ajakan bagi semua warga bangsa supaya dalam hidup berbangsa berjalan di jalan yang benar, berjalan sesuai aturan hukum yang berlaku. Jangan lupa ada 250 –an juta warga bangsa dengan beraneka ragam bahasa,agama,suku,juga karakter. Diibaratkan 250 –an juta pengendara terjebak dalam satu jalan yang sama. Sikap yang benar adalah tidak boleh berhenti di tengah jalan, terkecuali semua kendaraan berhenti. Tidak boleh bergerak maju sebelum kendaraan di depan bergerak maju. Tidak boleh mundur ke belakang karena ada banyak kendaraan sedang antri. Kondisi seperti ini memaksa semua pengendara supaya tetap siaga, pandangan harus lurus ke depan dan sesekali memperhatikan posisi kendaraan lain di sisi kiri dan sisi kanan dengan menggunakan kaca spion. Mengapa demikian? Karena jalur yang ada di sisi kanan dan sisi kiri sudah ada kendaraan lain yang mau lewat. Kalau semua pengendara semaunya saja, niscaya akan terjadi kecelakaan. Demikian halnya dalam hidup bersama. Ketika seorang atau sekelompok orang hidup menurut maunya sendiri,tidak mau peduli dan peka dengan orang yang di sebelah kanan dan kiri,di muka dan di belakang maka dengan sendirinya terjadi konflik. Oleh karena itu,sikap memaksakan kehendak kepada orang lain hanya dilakukan oleh orang-orang idiot. Pasti tidak akan pernah dilakukan oleh orang dengan labeling ‘pemimpin’ karena tidak ada pemimpin di negeri ini otaknya masih jongkok.
Kedua,harus kritis, jujur dan tulus dalam tutur kata dan tindakan. Sebuah pengakuan jujur dan tulus bahwa sebagai sebuah bangsa kita sudah kehilangan arah dan tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Semua tanda disintegrasi bangsa ini sudah sangat jelas ada di depan mata. Sayangnya, mayoritas warga bangsa ini masih mabuk dengan kebanggaan semu, berupa: “Kita hidup rukun dan damai,semua orang mencintai bangsa ini,tidak akan ada pengkianat bangsa,kita bangsa besar,kita bangsa kaya raya,bangsa ini contoh hidup bertoleransi.” Ini benar-benar aneh,masa boom sudah meledak di mana-mana,sudah banyak korban berjatuhan sia-sia toh kita belum mau sadar juga. Berpikir positif terhadap bangsa sendiri itu baik adanya,tetapi harus realistis dan harus kritis. Fakta membuktikan suasana sosial politik bangsa akhir-akhir ini dipenuhi dengan intrik tipu daya,hoax,saling fitnah,persekusi,politik dengan mengedepankan isu SARA, menggunakan panji agama untuk saling cekal,menggunakan mimbar agama untuk menyebar perang kebencian,dllnya. Akhibatnya, saat ini sangat sulit kita pisahkan agama dengan politik karena pada waktu bersamaan mimbar agama dan mimbar politik menggunakan bahasa yang sama yakni menyebar pemusuhan dan rasa benci. Kondisi seperti ini lagi-lagi membuat kita pusing sendiri. Mengapa demikian? Katanya mimbar agama itukan untuk menyebar kebaikan,kesejukan,rasa aman dan nyaman. Sehingga banyak orang meyakini semua bunga di depan rumah hingga di ladang tersenyum ceriah. Bahkan dunia binatang juga bisa tersenyum sehingga bisa naik kelas menjadi lebih manusiawi. Hanya saja patut disayangkan di tengah euphoria suka cita ini ternyata tidak berlaku bagi sebagian warga bangsa ini (manusia), karena mereka justru lebih memilih mengubah status dari manusia menjadi kebinatangan.
Bonus demografi tahun 2020 sebagai kesempatan emas sudah di depan mata. Tetapi kita masih saja berkutat dipusaran masalah-masalah yang tersisa dari zaman perjuangan yang ditandai dengan isu-isu murahan,dipenuhi dengan muatan saling benci dan saling dendam. Sebagai bahan refleksi: Mengapa kita masih saja belum mau beranjak naik kelas? Mengapa kita mau saja percaya pada ajaran dan ajakan yang mengedepankan permusuhan dan benci? Mengapa kita tidak mau belajar dari pengalaman bangsa-bangsa lain yang hancur lebur tatanan sosial sebagai bangsa? Mengapa sebagian dari kita sangat sulit menerima kenyataan bahwa semua perbedaan itu sudah usang dan kini saatnya bergandengan tangan untuk membangun bangsa?
Merawat kebinekaan sebagai bentuk implementasi nilai-nilai luhur Pancasila adalah sebuah keharusan karena kita tidak mau dikenal sebagai negara gagal. Sekalipun fakta bahwa dalam banyak hal,selama tujuh puluh dua tahun kita hidup bersama dalam satu atap kebinekaan bangsa Indonesia sebagian dari kita masih sulit merasakan hangatnya nafas kebersamaan. Tidak masalah,selama kita mau belajar cara bernafas yang benar, yakni; belajar sabar,belajar memberi,belajar mengalah,belajar hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda,belajar tahan diri,belajar bertanya,belajar menolak melakukan yang berlawanan dengan (norma agama,hukum dan budaya bangsa),belajar tidak salahkan orang lain. Karena hanya dengan banyak belajar orang bisa menjadi lebih pintar dan dengan banyak ilmu orang menjadi lebih bijak. Mari kita bersama-sama merawat kebinekaan bangsa dengan tekad yang sama: Kita Indonesia. Kita Pancasila. Semua Anda Indonesia, semua Anda Pancasila. Saya Indonesia. Saya Pancasila.