(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)
Sikap warga bangsa ini bebeda-beda mencermati semua peristiwa yang sedang terjadi di tengah masyarakat.
Bagi masyarakat akar rumput,dengan latar belakang serba terbatas seperti anggota Rukun Anugerah di Kelurahan Sagrat kota Bitung sekalipun dalam kesederhanaan mengikuti dengan saksama perkembangan bangsa akhir-akhir ini yang dipenuhi dengan intrik tipu daya,rawan perpecahan dan rawan tindakan kekerasan.
Usia Rukun Anugerah ini sekitar 20 puluh tahun dengan anggota adalah warga yang berasal dari Nusa Utara (Kabupaten Talaud,Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Sitaro) yang bermukin di sekitar Kelurahan Tanjung Merah,Kelurahan Sagrat dan kelurahan Manombo-nembo. Pertemuan kali ini hanya sekitar 15 orang dari total anggota 30-an Keluarga. Hal ini bisa dimaklumi karena tempat pertemuan ini diguyur hujan hampir sepanjang hari serta alasan kesibukan lain.
Pertemuan ini berlangsung pada hari Senin,15 Mei 2017, sejak jam 17.00-18.30 berawal dengan ibadah singkat dan dilanjutkan dengan diskusi ringan sekitar masalah actual bangsa saat ini,dengan fokus utama adalah “Keluarga menangkal gerakan radikalis dan teroris.”Di tengah diskusi berlangsung lampu dengan tiba-tiba padam karena belum mengsi pulsa. Diskusi ini tetap berlangsung hanya dengan menggunakan empat batang lilin. Model diskusi timbal balik dengan terlebih dahulu diberikan pengantar singkat tentang kondisi bangsa terkini dan cara-cara sederhana mengatasinya. Hasil diskusi secara singkat disajikan, berikut.
1. Tidak semua keluarga di sini punya TV tetapi bisa mengikuti berita dari rumah tetangga yang punya TV. Semua masalah yang terjadi dalam skala nasional dimana terjadi pertarungan politik nasional dalam banyak hal sebenarnya kami kurang paham apa yang diperebutkan. Sehingga ada seorang ibu menyeletuk,kalau hanya mau kedudukan ribut terus-terus tidak usah Pilkada. Jadi berikan saja kepada mereka yang suka mau jadi pemimpin,agar supaya tidak ada keributan. Tetapi ditimpali oleh peserta lain bahwa tidak boleh terjadi dalam negara demokrasi. Mana boleh pemimpin hanya hasil pemberian,tanpa perjuangan dan tanpa pengorbanan. Sebaliknya peserta lain menambahkan,negara demokrasi bagaimana, kenyataan kebencian yang dijual dari pada kebersamaan untuk saling menjaga. Mereka yang merasa dirinya paling benar kan tidak pantas hidup di negeri ini. Jangan berpikir bahwa kami-kami yang bodoh dan miskin ini tidak mengerti semua permainan curang,tipu-tipu atas nama agama segala. Kalau mau bertarung yang murni saja,tidak usah bawa-bawa itu agama. Mana boleh Tuhan dijual dengan harga sangat murah hanya untuk pemuas nafsu mau berkuasa saja. Bayangkan saja, seandainya Tuhan itu manusia biasa sepeti kita-kita ini pasti sudah sangat marah. “Manusia macam apa kamu, kurang ajar!!!”
2. Toleransi masyarakat secara alamiah sudah bertumbuh sejak jaman dahulu. Contoh dari rukun ini saja terdiri dari rupa-rupa suku bangsa,bahkan bukan hanya dari suku Nusa Utara saja,melainkan juga dari suku Minahasa sebagai Ketua Rukun. Hal ini menegaskan bahwa di antara kami sebenarnya tidak perlu ragu kalau bertoleransi. Selain itu hidup kami sangat berbaur dengan suku dan agama yang berbeda melalui ikatan perkawinan lintas suku. Bagaimana mungkin kami mau tanamkan kebencian terhadap saudara sendiri. Apalagi sebagai orang Kristen harus mengedepankan semangat saling mengasihi dan saling mengampuni. Karena ini hukum tertinggi bagi orang-orang Kristen. “Hendaklah kamu hidup saling mengampuni dan saling mengasihi dan ampunilah mereka yang telah menyakitimu karena mereka tidak mengerti apa yang mereka perbuat.”
3. Tantangan keluarga saat ini bukan teroris atau narkoba tetapi yang sangat mendesak yakni cara meyakinkan anak-anak agar tidak main judi,judi ayam dan minuman keras. Judi dan minuman keras merupakan dua jenis penyakit sosial yang pengaruhnya sangat kuat. Sulit dibayangkan uang hasil kerja hanya dihabiskan di meja judi, dan nyabung ayam dan minuman keras. Seorang ibu (peserta) mengungkapkan keprihatinan ini karena sepertinya para penjudi dan pemabuk ini sudah tidak mau berubah. Hampir semua nasihat,bahkan hingga kotbah di Gereja,toh mereka tidak mau dengar. Heran juga,mereka hanya mendengar dengan telinga kiri lalu seketika langsung keluar ke telinga kanan. Sepertinya otak dan rasa nurani mereka sudah mati suri sehingga menguap semuanya tanpa tinggalkan bekas di dalam otak sekecil apapun. Akhibatnya,keluarga tidak terurus,anak-anak kurang gizi dan beberapa istri jutru lari tinggalkan suami karena sudah tidak mampu menghadapi suami yang tidak mau bertanggungjawab. Memang tidak mudah mengerti cara berpikir para pemabuk dan penjudi ini, sudah miskin bukan mau berjuang supaya segera keluar dari miskin,bahkan sebaiknya lebih bikin diri tidak peduli.
Pertemuan ini memberi sebuah ilustrasi bahkan boleh dibilang sebagai sebuah auto kritis kepada semua ORANG BESAR di negeri ini yang selalu ribut dengan masalah uang sebelum dan sesudah melakukan sebuah perbuatan baik. Pesan dari disksusi ini sangat jelas bahwa menggali bertoleransi hendaknya dengan cara mau mendengar suara-suara dari akar rumput. Konsekwensinya,semua pejabat negeri ini agar segera bersihkan otak dari kelekatan terhadap ruangan full AC,hidangan mewah dengan rupa-rupa sajian dari Asia hingga Eropa. Hanya dengan bermodalkan empat batang lilin,teh panas serta beberapa potong ubi (roti Belanda) bisa menghasilkan banyak ide dan gagasan penuh nilai kebajikan. Inilah modal unik dari budaya nusantara yang sudah ada jauh sebelum hadirnya agama-agama yang sejak awal penyebarannya ditandai dengan banyak muatan kepentingan.